Halaman

Sabtu, 30 November 2013

Malam 1 Suro



Kedatangan tahun baru biasanya ditandai dengan berbagai kemeriahan, seperti pesta kembang api, keramaian tiupan terompet, maupun berbagai arak-arakan di malam pergantian tahun. Lain halnya dengan pergantian tahun baru Jawa yang jatuh tiap malam 1 Suro (1 Muharram) yang tidak disambut dengan kemeriahan, namun dengan berbagai ritual sebagai bentuk introspeksi diri.
Saat malam 1 Suro tiba, masyarakat Jawa umumnya melakukan ritual tirakatan, lek-lekan (tidak tidur semalam suntuk), dan tuguran (perenungan diri sambil berdoa). Bahkan sebagian orang memilih menyepi untuk bersemedi di tempat sakaral seperti puncak gunung, tepi laut, pohon besar, atau di makam keramat. Ritual 1 Suro telah dikenal masyarakat Jawa sejak masa pemerintahan Sultan Agung (1613-1645 Masehi).
Saat itu masyarakat Jawa masih mengikuti sistem penanggalan Tahun Saka yang diwarisi dari tradisi Hindu. Sementara itu umat Islam pada masa Sultan Agung menggunakan sistem kalender Hijriah. Sebagai upaya memperluas ajaran Islam di tanah Jawa, kemudian Sultan Agung memadukan antara tradisi Jawa dan Islam dengan menetapkan 1 Muharram sebagai tahun baru Jawa.
Bagi masyarakat Jawa, bulan Suro sebagai awal tahun Jawa juga dianggap sebagai bulan yang sakral atau suci, bulan yang tepat untuk melakukan renungan, tafakur, dan introspeksi untuk mendekatkan dengan Yang Maha Kuasa. Cara yang biasa digunakan masyarakat Jawa untuk berinstrospeksi adalah dengan lelaku, yaitu mengendalikan hawa nafsu.
Lelaku malam 1 Suro, tepat pada pukul 24.00 saat pergantian tahun Jawa, diadakan secara serempak di Kraton Ngayogyakarta dan Surakarta Hadiningrat sebagai pusat kebudayaan Jawa. Di Kraton Surakarta Hadiningrat kirab malam 1 Suro dipimpin oleh Kebo Bule Kyai Slamet sebagai Cucuking Lampah. Kebo Bule merupakan hewan kesayangan Susuhunan yang dianggap keramat. Di belakang Kebo Bule barisan berikutnya adalah para putra Sentana Dalem (kerabat keraton) yang membawa pusaka, kemudian diikuti masyarakat Solo dan sekitarnya seperti Karanganyar, Boyolali, Sragen dan Wonogiri.
Sementara itu di Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat memperingati Malam 1 Suro dengan cara mengarak benda pusaka mengelilingi benteng kraton yang diikuti oleh ribuan warga Yogyakarta dan sekitarnya. Selama melakukan ritual mubeng beteng tidak diperkenankan untuk berbicara seperti halnya orang sedang bertapa. Inilah yang dikenal dengan istilah tapa mbisu mubeng beteng.
Selain di Kraton, ritual 1 Suro juga diadakan oleh kelompok-kelompok penganut aliran kepercayaan Kejawen yang masih banyak dijumpai di pedesaan. Mereka menyambut datangnya tahun baru Jawa dengan tirakatan atau selamatan. Sepanjang bulan Suro masyarakat Jawa meyakini untuk terus bersikap eling (ingat) dan waspada. Eling artinya manusia harus tetap ingat siapa dirinya dan dimana kedudukannya sebagai ciptaan Tuhan.
Sedangkan waspada berarti manusia juga harus terjaga dan waspada dari godaan yang menyesatkan.
Karenanya dapat dipahami jika kemudian masyarakat Jawa pantang melakukan hajatan pernikahan selama bulan Suro. Pesta pernikahan yang biasanya berlangsung dengan penuh gemerlap dianggap tidak selaras dengan lelaku yang harus dijalani selama bulan Suro. Terlepas dari mitos yang beredar dalam masyarakat Jawa berkaitan dengan bulan Suro, namun harus diakui bersama bahwa introspeksi menjelang pergantian tahun memang diperlukan agar lebih mawas diri. Dan bukankah introspeksi tak cukup dilakukan semalam saat pergantian tahun saja? Makin panjang waktu yang digunakan untuk introspeksi, niscaya makin bijak kita menyikapi hidup ini. Inilah esensi lelaku yang diyakini masyakarat Jawa sepanjang bulan Suro.

Sumber: http://forumbebas.com -

Sedekah Laut

Kepercayaan diungkapkan dalam berbagai bentuk misalnya tentang suatu adat, nilai, dan upacara. Disamping kepercayaan akan adanya sang pencipta, masyarakat juga percaya tentang roh-roh jahat yang sewaktu-waktu akan mengganggu ketentraman hidup manusia. Agar terhindar dari roh-roh jahat maka masyarakat berusaha untuk tidak mengganggu dan menghindar dari apa-apa yang menjadi munculnya kegiatan tersebut.
Saya akan membahas kepercayaan yang dimiliki oleh masyarakat nelayan di Muarareja, Tegal, Jawa Tengah yaitu upacara sedekah laut. Upacara ini dilakukan secara ramai dan besar-besaran dilakukan oleh masyarakat desa. Bertujuan untuk memohon kepada Yang Maha Kuasa agar kegiatan nelayan dapat mendatangkan rejeki yang melimpah, agar diberi keselamatan dan kelancaran.
Upacara sedekah laut diadakan setahun sekali yaitu pada bulan sapar (menurut kalender jawa). Kegiatan utama upacara sedekah laut adalah menabur sesaji di tengah laut, yang ditujukan kepada Yang Maha Kuasa dan para leluhur juga dipercaya dapat menjaga dari segala ancaman marabahya yang akan mereka alami.
Penaruhan sesaji ketengah laut dilakukan oleh rombongan perahu hias, sebelumnya perahu itu dihias dipinggir pantai. Setelah persiapan sesaji dan perahu yang sudah dihias siap, dibawalah perahu ke tengah laut dengan jarak antara 2 km dari garis pantai, dengan didahului pembacaan doa oleh dalang sebagai pemimpin upacara, setelah itu sesaji ditebar dan bersorak rianglah para peserta upacara secara beramai-ramai.
Para pihak yang mengikuti atau terlibat secara langsung dalam upacara adat tersebut adalah para keluarga nelayan, pemilik perahu, beserta anak buahnya dan aparat desa setempat.
Sesaji yang dipersembahkan kepada Yang Maha Kuasa dan roh leluhur antara lain berisikan berbagai makanan, buah-buahan, wewangian, bunga-bungaan, minuman dan kepala kerbau serta kepala kambing. Semua buah-buahan tersebut ditaruh disuatu tempat yang berukuran 2 meter persegi, yang dinamakan ancak.
Untuk menghindari terjadinya suatu yang tidak diinginkan, segenap peserta upacara tersebut terutama yang ikut melaut tidak boleh mengeluarkan kata-kata kotor.